Catatan Perjalanan :
Dari New
Orleans Ke Kendal
9.
Jika Pilihan Saya Ternyata Salah
Jam 05:30, Selasa
pagi, saya sudah terbangun karena Terminal 2 mulai ramai.
Kucek-kucek mata sebentar, menggeliat, menyusun barang bawaan,
lalu mendorong kereta ke arah stasiun sky-train karena
harus ke counter Thai Airways (TG) di Terminal 1. Ya jelas
sky-train-nya belum beroperasi, wong belum jam
6:00. Lalu saya berhenti sebentar di prayer room yang
letaknya agak tersembunyi untuk sholat Subuh, meskipun sebenarnya
saya ragu apakah saat itu di Singapura sudah masuk waktu sholat
Subuh atau belum.
Sky-train
ternyata beroperasi 5 menit lebih awal, jadi bisa segera meluncur
ke Terminal 1, seusai sholat Subuh. Setelah keluar melewati
imigrasi, langsung menuju bagian check-in TG di lantai 1.
Pikiran pertama saya, saya akan minta TG untuk memberikan endorsement
atas tiket saya ke Garuda Indonesia (GA). Karena meskipun petugas
American Airlines (AA) di Tokyo tidak berhasil mengeluarkan tiket
GA, tapi bisa membuat status seat saya OK. Lagipula GA
adalah penerbangan pertama pagi itu dari Singapura menuju
Jakarta, berangkat jam 06:50. Artinya saya harus mengejar waktu
sekitar 50 menit.
Bagian check-in
TG rupanya tidak bisa memberi endorsement. Kata
petugasnya, pengalihan tiket ke penerbangan lain harus dilakukan
oleh kantor TG yang ada di lantai 2. Katanya lagi, biasanya
kantor baru buka jam 08:00. Wah
, modar aku!, batin
saya. Artinya saya mesti menunggu 2 jam lagi. Tetapi sang petugas
juga ngayem-ayemi (menenangkan pikiran) saya, disuruhnya
saya langsung saja ke kantor : Siapa tahu sudah ada
orang, katanya.
Dengan berharap
banyak di balik kata siapa tahu, saya langsung
mencari kantor yang dimaksud di lantai 2. Ngos-ngosan juga,
karena barang bawaan saya cukup berat. Ternyata kantor TG memang
belum buka, dan tidak tampak ada orang di dalamnya. Saya tunggui
saja persis di depan pintu kantor yang masih sepi itu. Sudah 10
menit berlalu, 20 menit berlalu, masih juga belum ada tanda-tanda
ada orang. Saya mulai gelisah, karena GA akan terbang jam 06:50.
Setelah jalan
kesana-kemari di seputaran kantor, kemudian saya putuskan untuk
turun lagi ke bagian check-in di lantai 1 menemui petugas
berbeda, sambil berharap barangkali petugas lain bisa membantu.
Ternyata tidak juga, tetap disuruhnya saya datang ke kantor. Yaaa
.., balik lagi ke lantai 2, tetap dengan menggotong-gotong
barang bawaan karena kereta dorong tidak diperbolehkan masuk dan
naik tangga berjalan. Tetap juga kantornya masih tutup.
Kalau gelisah
begini biasanya paling enak menyalakan rokok, tapi tentu tidak
bolah. Akhirnya ya hanya bisa anguk-anguk (berdiri di
lantai atas sambil melongok-longokkan kepala memandang ke lantai
bawah) di depan pintu kantor, sambil tetap berdoa mudah-mudahan
kata biasanya buka jam 8:00 tidak berlaku untuk hari
itu.
Saat itulah saya
baru menyadari bahwa keputusan saya untuk memilih tiket TG
sewaktu di Tokyo ternyata adalah strategi yang salah. Seharusnya
saya memilih untuk dikeluarkan tiket Singapore Airlines (SQ).
Sekalipun status kursi saya waktu itu tidak confirm, tapi
SQ punya kelebihan lain.
Pertama : ada
banyak counter SQ di Changi, sehingga tidak perlu
kesana-kemari untuk mengurus ini-itu. Kedua : perwakilan SQ di
Changi buka 24 jam. Ketiga : ada 3 penerbangan SQ pagi hingga
siang itu menuju Jakarta, sehingga kalaupun penerbangan pertama
tidak bisa, masih ada peluang bernegosiasi untuk penerbangan
kedua atau ketiga yang semuanya masih relatif lebih awal tiba di
Jakarta. Keempat : saya punya jurus pamungkas, bahwa saya saat
itu sedang dalam perjalanan emergency.
Salah strategi. Ya, sudah. Wong
pilihan salah sudah telanjur dibuat. (Bersambung)
Yusuf Iskandar